Berkaitan dengan sejarah kemerdekaan Indonesia, ada hal yang
jarang sekali diungkap, yakni tentang negara mana saja yang pertama kali
membantu dan memberikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Patut dicatat
bahwa dukungan dan pengakuan kedaulatan Indonesia pertama kali adalah datang
dari negara-negara muslim di Timur Tengah. Bukan dari negara-negara Barat.
Berawal dari Palestina
Gong dukungan untuk kemerdekaan Indonesia ini dimulai dari
Palestina. M. Zein Hassan, Lc (Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan
Indonesia) dalam bukunya “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” (hal.
40) menyatakan tentang peran serta, opini dan dukungan nyata Palestina terhadap
kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani untuk memutuskan
sikap.
Dukungan Palestina ini diwakili oleh
Syekh Muhammad Amin Al-Husaini—mufti besar Palestina. Pada 6 September 1944,
Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ beliau ke seluruh dunia
Islam, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia.
Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum
Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan RI. Seorang yang sangat
bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, Muhammad Ali Taher (seorang
saudagar kaya Palestina) spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia
tanpa meminta tanda bukti dan berkata: “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk
memenangkan perjuangan Indonesia”. Setelah itu dukungan mengalir.
Dukungan Mesir
Di Mesir, sejak diketahui sebuah negeri Muslim bernama
Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya, Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM), organisasi
Islam yang dipimpin Syaikh Hasan Al-Banna, tanpa kenal lelah terus menerus
memperlihatkan dukungannya. Selain menggalang opini umum lewat pemberitaan
media yang memberikan kesempatan luas kepada para mahasiswa Indonesia untuk
menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran lokal miliknya, berbagai
acara tabligh akbar dan demonstrasi pun digelar.
Para pemuda dan pelajar Mesir, juga kepanduan Ikhwan, dengan
caranya sendiri berkali-kali mendemo Kedutaan Belanda di Kairo. Tidak hanya
dengan slogan dan spanduk, aksi pembakaran, pelemparan batu, dan
teriakan-teriakan permusuhan terhadap Belanda kerap mereka lakukan. Kondisi ini
membuat Kedutaan Belanda di Kairo ketakutan. Mereka dengan tergesa mencopot
lambang negaranya dari dinding Kedutaan. Mereka juga menurunkan bendera
merah-putih-biru yang biasa berkibar di puncak gedung, agar tidak mudah
dikenali pada demonstran.
Kuatnya dukungan rakyat Mesir atas kemerdekaan RI membuat
pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada 22 Maret
1946. Dengan begitu Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah itu menyusul Syria, Iraq, Lebanon,
Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan. Selain negara-negara tersebut, Liga
Arab juga berperan penting dalam Pengakuan RI. Secara resmi keputusan
sidang Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946 menganjurkan kepada semua negara
anggota Liga Arab supaya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang
berdaulat. Alasan Liga Arab memberikan dukungan kepada Indonesia merdeka
didasarkan pada ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan.
Dukungan dari Liga Arab
dijawab oleh Presiden Soekarno dengan menyatakan bahwa antara negara-negara
Arab dan Indonesia sudah lama terjalin hubungan yang kekal “Karena di antara
kita timbal balik terdapat pertalian agama”.
Pengakuan Mesir dan
negara-negara Arab tersebut melewati proses yang cukup panjang dan heroik.
Begitu informasi proklamasi kemerdekaan RI disebarkan ke seluruh dunia,
pemerintah Mesir mengirim langsung konsul Jenderalnya di Bombay yang bernama
Mohammad Abdul Mun’im ke Yogyakarta (waktu itu Ibukota RI) dengan menembus
blokade Belanda untuk menyampaikan dokumen resmi pengakuan Mesir kepada Negara
Republik Indonesia. Ini merupakan pertama kali dalam sejarah perutusan suatu
negara datang sendiri menyampaikan pengakuan negaranya kepada negara lain yang
terkepung dengan mempertaruhkan jiwanya. Ini juga merupakan Utusan resmi luar
negeri pertama yang mengunjungi ibukota RI.
Pengakuan dari Mesir
tersebut kemudian diperkuat dengan ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan
Indonesia – Mesir di Kairo. Situasi menjelang penandatanganan perjanjian tersebut
duta besar Belanda di Mesir ‘menyerbu’ masuk ke ruang kerja Perdana Menteri
Mesir Nuqrasy Pasha untuk mengajukan protes sebelum ditandatanganinya
perjanjian tersebut. Menanggapi protes dan ancaman Belanda tersebut PM Mesir
memberikan jawaban sebagai berikut: ”Menyesal kami harus menolak protes Tuan,
sebab Mesir selaku negara berdaulat dan sebagai negara yang berdasarkan Islam
tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini
adalah tradisi bangsa Mesir dan tidak dapat diabaikan”.
Raja Farouk Mesir juga
menyampaikan alasan dukungan Mesir dan Liga Arab kepada Indonesia dengan
mengatakan ”Karena persaudaran Islamlah, terutama, kami membantu dan mendorong
Liga Arab untuk mendukung perjuangan bangsa Indonesia dan mengakui kedaulatan
negara itu”
Dengan adanya pengakuan Mesir, Indonesia secara de
jure adalah negara berdaulat. Masalah Indonesia menjadi masalah
Internasional. Belanda sebelumnya selalu mengatakan masalah Indonesia “masalah
dalam negeri Belanda”. Pengakuan Mesir dan Liga Arab mengundang keterlibatan
pihak lain termasuk PBB dalam penyelesaian masalah Indonesia.[1]
Untuk menghaturkan rasa terima kasih, pemerintah Soekarno
mengirim delegasi resmi ke Mesir pada tanggal 7 April 1946. Ini adalah delegasi
pemerintah RI pertama yang ke luar negeri. Mesir adalah negara pertama yang
disinggahi delegasi tersebut.
Tanggal 26 April 1946 delegasi pemerintah RI kembali tiba di
Kairo. Beda dengan kedatangan pertama yang berjalan singkat, yang kedua ini
lebih intens. Di Hotel Heliopolis Palace, Kairo, sejumlah pejabat tinggi Mesir
dan Dunia Arab mendatangi delegasi RI untuk menyampaikan rasa simpati. Selain
pejabat negara, sejumlah pemimpin partai dan organisasi juga hadir. Termasuk
pemimpin Hasan Al-Banna dan sejumlah tokoh IM dengan diiringi puluhan
pengikutnya
Malam tanggal 6 Mei
1946, delegasi Indonesia dipimpin oleh H. Agus Salim, Deputi Menlu Indonesia
berkunjung ke kantor pusat dan koran IM. Beliau mengungkapkan rasa terima kasih
Indonesia atas dukungan IM kepada mereka.
Tanggal 10 November
1947, mantan PM Indonesia dan penasehat Presiden Soekarno, Sutan Syahrir,
berkunjung ke kantor pusat dan koran IM. Kedatangan mereka disambut dengan
gembira dan meriah oleh IM.
Sebuah Renungan
Fakta sejarah ini
memberikan pelajaran bagi kita bahwa soliditas umat Islam adalah kekuatan
dahsyat yang harus terus dipelihara. Oleh karena itu upaya-upaya untuk
melakukan konsolidasi antara bangsa-bangsa muslim, menyangkut masalah politik,
ekonomi, sosial, pertahanan keamanan, dan peradaban Islam secara umum harus
terus diperjuangkan, sehingga rahmat Islam dapat menebar di seluruh penjuru
bumi dan dirasakan oleh seluruh umat manusia.
Khusus bagi bangsa
Indonesia fakta sejarah ini mengingatkan bahwa mereka ‘berutang budi’ pada
Islam yang telah mengajarkan prinsip ukhuwah Islamiyah. Berkat semangat
persatuan dan persaudaraan Islam inilah bangsa Indonesia dapat memperoleh
dukungan kemerdekaan dari berbagai negara di dunia.
Oleh karena itu alangkah
eloknya jika bangsa ini dapat meningkatkan penghargaannya pada ajaran Islam.
Bahkan bersedia menegakkan nilai-nilai universalnya dalam masyarakat dan bangsa
Indonesia.
Allahu Akbar! Allahu
Akbar! Allahu Akbar! Wa li-Llahil hamd! Merdeka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar