Rabu, 20 Agustus 2014

Duri, Riau, 1995

Mungkin delapan belas tahun yang lalu, atau lebih. Satu memori terlama yang masih bisa kuputar bersih dari memoar jangka panjang otakku. Di saat rumah kami berdinding papan bekas dari kilang somel yang lapuk. Saat lantai dapurnya begitu alami yang hanya berbentangkan tanah yang didatarkan.

Kenangan rantang biru dan sebungkus tissu. Saat itu mungkin bertepatan dengan hari Ahad. Papa, begitu yang kutahu nama laki-laki kurus berkulit hitam berkumis tebal yang tinggal bersamaku itu, pulang dari melakukan 'ritual kunjungan sungai' rutinnya, memancing. Senja itu kucium bau amis dari tas jinjing yang dibawanya pergi seharian. Ia mengeluarkan beberapa ekor 'ikan berkumis' dari kantung plastik yang terdapat di dalam tas. Aku sungguh tidak melanjutkan rasa penasaranku pada makhluk yang dibawanya pulang itu. Aku lebih peduli pada rantang bulat biru 'bertelinga' yang bertutup motif bunga dari sisi lain tas jinjing. Aku membuka rantang biru itu dan hanya menemukan minyak merah bekas cabe dari lauk dan nasi yang dibawa papa sebagai bekal. Padahal aku berharap masih ada sisanya, aku suka sekali makan makanan sisa papa atau mama.
Suasana malam di rumah papan kami selalu temaram dengan lampu 10 watt. Ketika aku sudah dewasa begini suasana malam begitu akan membuatku mengantuk sejadinya, namun ketika aku kecil dulu itu tidak ada pengaruhnya. Bahkan ketika mati lampu sekali pun, malah membuat mataku semakin terbuka lebar sambil terpekik ketakutan.
Di bawah temaram lampu aku lagi merogoh ke dalam tas pancing jinjing itu. Kudapat sebuah benda unik yang membuatku jatuh cinta. Sebuah bungkusan plastik berisi beberapa lembar kertas wangi. Itu tissu, kata orang tuaku. Benda yang kemudian kubawa tidur selama bermalam-malam.
Lain hari ketika papa menemukan perkutut dari lokasi pemancingannya. Ia membawanya pulang dan langsung membuat sangkar. Papa memetikkan jari tengah ke jempolnya sehingga burung itu berkukur. Aku ingat ketika itu betapa kagumnya aku akan hal itu. Aku menuntut papa mengangkatku setinggi gantungan sangkar sehingga aku bisa berpetik. Aku belum pandai lagi, jemariku tak mengeluarkan satu bunyi pun. Papa menurunkanku lagi dan mengajariku bagaimana memetikkan jari. Di hari itu juga 'kursus' petik jariku membuahkan hasil.
Lain waktu ketika aku dan mama -orang yang terbukti paling kucintai di dunia ini- duduk bersama di tepi teras rumah papan. Aku mendongak ketika sebuah bunyi bising berteriak dari langit. Benda yang biasa kulihat terbang tinggi itu kini terbang rendah di atas atap rumah kami. 'Helitotel', begitulah penyebutanku untuk benda serupa capung besar tersebut. "Helikopter!", mama berusaha meluruskan lidahku. Berkali-kali aku mencoba menggetarkan lidahku, dan aku berhasil lagi menyelesaikan 'R'-ku di hari itu.
Tau dengan forklift?
Dulu aku sangat akrab dengan yang satu ini. Kami tinggal di komplek pengolahan dan gudang kayu. Walaupun dekat dengan rumah, mama jarang membawaku bermain-main ke sana walau ia selalu menakutiku dengan cerita 'porkilip' itu. Mendengar ceritanya aku tak takut sama sekali. Aku penasaran dengan benda yang katanya merah itu. Apa dia binatang?
Demi memenuhi rengekku, suatu siang mama membawaku dengan menggendong ke somel. Barulah aku mengakui rupa seram dari benda sangar yang digunakan untuk mengangkut material berat itu walau ketika sudah besar aku menyadari bentuk forklift itu lumayan 'imut' untuk seukuran alat berat. Aku menangis tentunya menyesali kunjunganku ke pabrik kayu ini. Kini aku merengek lagi meminta pulang, namun mama yang kukuh memperlihatkan forklift itu padaku. Seseorang mengabadikan momen di mana potongan rambut 'usro-sahabat Unyil' menghiasi kepalaku. Aku tertegun ketika memandang foto jarak jauh tersebut. Entah siapa fotografer misterius momen itu.

Delapan belas tahun yang lalu aku seperti itu. Boleh jadi sampai tua nanti aku akan tetap mengingat pribadi asli yang menjadikanku seperti ini. Dan mengingat orang-orang yang telah membentukku begini. Orang-orang itu, yang mengajariku banyak kepandaian, jika pun orang-orang baru hadir dalam hidupku, akan memperlengkap cerita, bukan mengubah kisah. Nantinya aku ingin kembali ke banyak tempat. Tempat di mana laki-laki yang paling setia dalam hidupku berasal, ayah, ranah minang yang rindang. Tempat di mana wanita kecintaanku, ibu, menjalani hidupnya, yang menjadi tempat pertama munculnya aku di dunia ini, negeri suluk yang sejuk. Tempat di mana aku belajar dan besar, kota minyak panas. Tempat aku belajar berdiri di atas kakiku sendiri dan mencari jati diri, kota yang bertuah ini. Dan suatu hari nanti, akan ada satu tempat lagi di mana belahan hatiku yang baru membawaku pulang. Orang yang akan menjadi pelengkap kisahku dengan menyuguhkan kasih sayang dan pengajaran setara atau lebih dari dua belahan hati pertamaku.  Karena cinta mereka, aku tak kan lali terhadap bermil-mil kisah panjang yang kutempuh dalam waktu hidup yang diberikan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar