Seorang gadis sering merenung sendiri akan kebodohan
yang pernah ia lakukan dua setengah tahun yang lalu. Bagi orang lain mungkin
hal itu tak terlalu bodoh. Tapi untuknya itu bukan hanya bodoh, tapi juga
memalukan bagi dirinya sendiri dan membuat ia menyesal sampai saat ini.
Ia tak
dapat memaafkan dirinya sendiri dan juga waktu-waktu yang tak sedikitpun
melarangnya. Ia masih begitu ingat ketika seorang pemuda
mengungkapkan perasaan cinta kepadanya. Tiada keistimewaan sedikitpun darinya.
Tidak wajahnya, tidak tingkah lakunya. Gadis itu masih selalu berpikir, “Kenapa
aku pernah mau menerima cintanya, padahal aku tak mencintainya sedikitpun.”
Gadis itu sadar, saat itu ia merasa sudah dewasa
dengan menduduki bangku SMA. Ia bukan lagi anak-anak yang terikat dengan
ketakutan pada peraturan orang tua. Karena itu ia berpikir bahwa ia sudah harus
mulai mencoba-coba apa yang biasa dilakukan remaja, pacaran.
Tanpa pikir panjang dan dengan hanya bermotivasikan
“coba-coba”, ia menyatakan “ya” pada sang pemuda. Tentu ia kegirangan mendengar
jawaban “ya” dari sang gadis.
Pemuda itu lantas mengajarinya kata-kata sayang : aku
sayang kamu ; aku cinta kamu. Setiap pesan singkat yang dikirimkannya kepada
sang gadis selalu bertuliskan sayang.
Sang gadis tak mengerti betul apa itu sayang. Jarinya begitu
kaku, bulu romanya berdiri ketika hendak membalas pesan pemuda itu dengan
kata-kata sayang pula. Sering terlintas di benaknya ketika ia akan mengetikkan
kata-kata tersebut, “Aku kan tidak sayang dia, buat apa aku menuliskan kata
sayang?”. Tapi ia sadar, saat ini ia tengah berpacaran. Mestilah menuliskan
kata-kata begitu.
Sang gadis seringkali merasa jengkel akan pesan-pesan
(SMS) dari sang pemuda yang tak putus-putus membuat handphone-nya berisik, dan
isinya hanya kata-kata yang membuang-buang waktu. Sang gadis sering mengacuhkan
SMS-SMS yang menurutnya menyebalkan tersebut. Dan ketika satu SMS tidak
dibalasnya, maka si pemuda akan mengirim pesan baru yang isinya kata-kata marah
kepada sang gadis yang tak membalas pesan sebelumnya. Barulah sang gadis
membalas pesan itu dengan kata-kata, “Maaf, aku sibuk.”. Namun pemuda itu tak
peduli dan terus mengganggunya.
Sering pula ia mencoba menelepon sang gadis. Tetapi,
telepon itu sering tak diangkat olehnya. Sang gadis tahu, kalau dia menelepon
paling hanya untuk mengatakan kata-kata sia-sia dan tak mempunyai makna itu
lagi, sedangkan ia tak bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Lidahnya kelu
kalau harus mengatakan sayang kepada seseorang yang tak disayanginya sama
sekali.
Sang gadis mulai membenci itu semua. Ia mulai merasa
bodoh. Bodoh telah menyia-nyiakan waktunya untuk kegiatan konyol tak berguna
seperti ini. Ia berpikir dirinya bodoh telah mau menghabiskan waktu bersama
laki-laki yang tak dicintainya. “Buat apa?”.
Sejak hari pertama dari sang gadis menerima cinta
pemuda itu, ia memintanya untuk merahasiakan hubungan yang tak jelas itu semua
dari siapapun. Pemuda itu berjanji akan itu. Sang gadispun tak pernah
menceritakan kepada siapa saja, termasuk sahabat karibnya tentang hal itu.
Akhirnya sang pemuda semakin sering menghubunginya,
semakin menganggap bahwa sang gadis juga mencintai dirinya. Namun sang gadis
merasa semakin risih dan muak bersandiwara. Ia mulai berpikir, “Kenapa para
wanita mau berpacaran?”.
Di hari keenam sejak ia menerima pemuda itu, tepat di
hari lahir sang gadis, ia berpikir untuk jujur pada dirinya sendiri. Dengan
hati yang tenang, ia menghubungi si pemuda dan menyatakan putus, tanpa alasan
apapun yang dikatakannya. Sang pemuda tidak keberatan.
Berakhirlah semuanya. Kehidupannya kembali tenang,
tanpa ada beban seperti enam hari sebelumnya. Namun tetap saja ia menyesali,
kenapa ia pernah menerima cinta seseorang yang tak dicintainya hanya dengan
alasan “coba-coba pacaran”?
Hal yang seharusnya tetap menjadi rahasia mereka itu
akhirnya tersebar. Semua teman, bahkan bukan teman sang gadis pun tahu akan hal
itu. Seperti satu SMA-nya itu telah tahu hal tersebut. Padahal sang gadis tak
pernah menceritakan hal itu, dan setahunya tak pernah ada seorangpun yang tahu,
atau melihat mereka dekat. Selama enam hari tersebut, sang gadis dan si pemuda
juga tak pernah berduaan layaknya remaja-remaja menjalin cinta.
Akhirnya ia tahu, sang pemuda mengingkari janjinya
untuk selalu merahasiakan hal itu. Ia mengumbar cerita tersebut karena ia
merasa bangga pernah mendapat kata-kata sayang dari sang gadis. Ia bangga
karena menurutnya sang gadis pernah mencintainya.
Seringkali ia meminta sang gadis kembali padanya,
namun dengan tegas ia menolak. “Bagaimana bisa aku menerima cinta seseorang yang
mengingkari janji kecilnya padaku? Bagaimana bisa aku menerima cinta seseorang
yang tak kucintai, sedangkan aku tak akan menerima cinta seseorang yang tak
kucintai?”.
Hingga karena hal itu sang gadis tak pernah menerima
cinta pemuda lain lagi, karena tak pernah pemuda yang dicintainya juga
mencintainya, hingga ia bersyukur karena terbebas dari berpacaran, seperti
amanah orang tua dan Rabb-nya, hingga semakin waktu ia sadar, bahwa untuk
mencari jodoh tak perlu berpacaran, cukup berta’aruf saja.
Ia sadar, karena penerimaannya waktu itu, sang pemuda
merasa yakin bahwa sang gadis pernah mencintainya. Gadis itu hanya tersenyum, berpikir
bahwa si pemuda itu agak bodoh menebak perasaan. Ia tak mau membuat pemuda itu
tersinggung jika harus dikatakannya terus-terang bahwa ia hanya berpura-pura
mencintainya, namun tetap saja ia tak bisa mencintainya walaupun sudah
berpura-pura.
Walaupun kisah itu tersebar, tapi tak ada yang tahu
bahwa gadis itu menyesal pada enam hari yang buruk itu, banyak yang mengira itu
hanya kisah gosip yang bodoh. Menyesal gadis itu kenapa aib itu bisa tersebar,
padahal seharusnya tak akan pernah tersebar.
Gadis itu akhirnya tahu watak pemuda tersebut, ia juga
sering mendengar bagaimana cara pemuda itu bersama gadis-gadis lain yang dijadikannya
pacar setelah dirinya. Ia benar-benar bodoh. Untunglah ia tak pernah duduk
berdua dengannya.
Setiap ada yang bertanya tentang kebenaran kisah itu
padanya, ia selalu menjawab nihil, dengan tenang. “Buat apa mereka tahu
aibku?”, pikirnya.
Gadis itu berjanji, tak akan kembali kepada pemuda itu
sampai kapanpun meski ia akan terus mencoba menarik gadis itu kembali ke
kehidupannya. Ia hanya meminta pertolongan kepada Rabb-nya agar diberi
perlindungan dan keteguhan hati.
Selama ia menyesal, dan tak membohongi dirinya, ia tak
takut jika harus mengatakan “tidak pernah” jika ada orang yang bertanya
“pernahkah kau menjadi kekasihnya?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar