Rabu, 27 Juni 2012

Belajarlah Cinta, Wahai Ukhti!

Seorang gadis sering merenung sendiri akan kebodohan yang pernah ia lakukan dua setengah tahun yang lalu. Bagi orang lain mungkin hal itu tak terlalu bodoh. Tapi untuknya itu bukan hanya bodoh, tapi juga memalukan bagi dirinya sendiri dan membuat ia menyesal sampai saat ini.

Ia tak dapat memaafkan dirinya sendiri dan juga waktu-waktu yang tak sedikitpun melarangnya. Ia masih begitu ingat ketika seorang pemuda mengungkapkan perasaan cinta kepadanya. Tiada keistimewaan sedikitpun darinya. Tidak wajahnya, tidak tingkah lakunya. Gadis itu masih selalu berpikir, “Kenapa aku pernah mau menerima cintanya, padahal aku tak mencintainya sedikitpun.”

Gadis itu sadar, saat itu ia merasa sudah dewasa dengan menduduki bangku SMA. Ia bukan lagi anak-anak yang terikat dengan ketakutan pada peraturan orang tua. Karena itu ia berpikir bahwa ia sudah harus mulai mencoba-coba apa yang biasa dilakukan remaja, pacaran.

Tanpa pikir panjang dan dengan hanya bermotivasikan “coba-coba”, ia menyatakan “ya” pada sang pemuda. Tentu ia kegirangan mendengar jawaban “ya” dari sang gadis.

Pemuda itu lantas mengajarinya kata-kata sayang : aku sayang kamu ; aku cinta kamu. Setiap pesan singkat yang dikirimkannya kepada sang gadis selalu bertuliskan sayang.

Sang gadis tak mengerti betul apa itu sayang. Jarinya begitu kaku, bulu romanya berdiri ketika hendak membalas pesan pemuda itu dengan kata-kata sayang pula. Sering terlintas di benaknya ketika ia akan mengetikkan kata-kata tersebut, “Aku kan tidak sayang dia, buat apa aku menuliskan kata sayang?”. Tapi ia sadar, saat ini ia tengah berpacaran. Mestilah menuliskan kata-kata begitu.

Sang gadis seringkali merasa jengkel akan pesan-pesan (SMS) dari sang pemuda yang tak putus-putus membuat handphone-nya berisik, dan isinya hanya kata-kata yang membuang-buang waktu. Sang gadis sering mengacuhkan SMS-SMS yang menurutnya menyebalkan tersebut. Dan ketika satu SMS tidak dibalasnya, maka si pemuda akan mengirim pesan baru yang isinya kata-kata marah kepada sang gadis yang tak membalas pesan sebelumnya. Barulah sang gadis membalas pesan itu dengan kata-kata, “Maaf, aku sibuk.”. Namun pemuda itu tak peduli dan terus mengganggunya.

Sering pula ia mencoba menelepon sang gadis. Tetapi, telepon itu sering tak diangkat olehnya. Sang gadis tahu, kalau dia menelepon paling hanya untuk mengatakan kata-kata sia-sia dan tak mempunyai makna itu lagi, sedangkan ia tak bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Lidahnya kelu kalau harus mengatakan sayang kepada seseorang yang tak disayanginya sama sekali.

Sang gadis mulai membenci itu semua. Ia mulai merasa bodoh. Bodoh telah menyia-nyiakan waktunya untuk kegiatan konyol tak berguna seperti ini. Ia berpikir dirinya bodoh telah mau menghabiskan waktu bersama laki-laki yang tak dicintainya. “Buat apa?”.

Sejak hari pertama dari sang gadis menerima cinta pemuda itu, ia memintanya untuk merahasiakan hubungan yang tak jelas itu semua dari siapapun. Pemuda itu berjanji akan itu. Sang gadispun tak pernah menceritakan kepada siapa saja, termasuk sahabat karibnya tentang hal itu.

Akhirnya sang pemuda semakin sering menghubunginya, semakin menganggap bahwa sang gadis juga mencintai dirinya. Namun sang gadis merasa semakin risih dan muak bersandiwara. Ia mulai berpikir, “Kenapa para wanita mau berpacaran?”.

Di hari keenam sejak ia menerima pemuda itu, tepat di hari lahir sang gadis, ia berpikir untuk jujur pada dirinya sendiri. Dengan hati yang tenang, ia menghubungi si pemuda dan menyatakan putus, tanpa alasan apapun yang dikatakannya. Sang pemuda tidak keberatan.

Berakhirlah semuanya. Kehidupannya kembali tenang, tanpa ada beban seperti enam hari sebelumnya. Namun tetap saja ia menyesali, kenapa ia pernah menerima cinta seseorang yang tak dicintainya hanya dengan alasan “coba-coba pacaran”?

Hal yang seharusnya tetap menjadi rahasia mereka itu akhirnya tersebar. Semua teman, bahkan bukan teman sang gadis pun tahu akan hal itu. Seperti satu SMA-nya itu telah tahu hal tersebut. Padahal sang gadis tak pernah menceritakan hal itu, dan setahunya tak pernah ada seorangpun yang tahu, atau melihat mereka dekat. Selama enam hari tersebut, sang gadis dan si pemuda juga tak pernah berduaan layaknya remaja-remaja menjalin cinta.

Akhirnya ia tahu, sang pemuda mengingkari janjinya untuk selalu merahasiakan hal itu. Ia mengumbar cerita tersebut karena ia merasa bangga pernah mendapat kata-kata sayang dari sang gadis. Ia bangga karena menurutnya sang gadis pernah mencintainya.

Seringkali ia meminta sang gadis kembali padanya, namun dengan tegas ia menolak. “Bagaimana bisa aku menerima cinta seseorang yang mengingkari janji kecilnya padaku? Bagaimana bisa aku menerima cinta seseorang yang tak kucintai, sedangkan aku tak akan menerima cinta seseorang yang tak kucintai?”.

Hingga karena hal itu sang gadis tak pernah menerima cinta pemuda lain lagi, karena tak pernah pemuda yang dicintainya juga mencintainya, hingga ia bersyukur karena terbebas dari berpacaran, seperti amanah orang tua dan Rabb-nya, hingga semakin waktu ia sadar, bahwa untuk mencari jodoh tak perlu berpacaran, cukup berta’aruf saja.

Ia sadar, karena penerimaannya waktu itu, sang pemuda merasa yakin bahwa sang gadis pernah mencintainya. Gadis itu hanya tersenyum, berpikir bahwa si pemuda itu agak bodoh menebak perasaan. Ia tak mau membuat pemuda itu tersinggung jika harus dikatakannya terus-terang bahwa ia hanya berpura-pura mencintainya, namun tetap saja ia tak bisa mencintainya walaupun sudah berpura-pura.

Walaupun kisah itu tersebar, tapi tak ada yang tahu bahwa gadis itu menyesal pada enam hari yang buruk itu, banyak yang mengira itu hanya kisah gosip yang bodoh. Menyesal gadis itu kenapa aib itu bisa tersebar, padahal seharusnya tak akan pernah tersebar.

Gadis itu akhirnya tahu watak pemuda tersebut, ia juga sering mendengar bagaimana cara pemuda itu bersama gadis-gadis lain yang dijadikannya pacar setelah dirinya. Ia benar-benar bodoh. Untunglah ia tak pernah duduk berdua dengannya.

Setiap ada yang bertanya tentang kebenaran kisah itu padanya, ia selalu menjawab nihil, dengan tenang. “Buat apa mereka tahu aibku?”, pikirnya.

Gadis itu berjanji, tak akan kembali kepada pemuda itu sampai kapanpun meski ia akan terus mencoba menarik gadis itu kembali ke kehidupannya. Ia hanya meminta pertolongan kepada Rabb-nya agar diberi perlindungan dan keteguhan hati.

Selama ia menyesal, dan tak membohongi dirinya, ia tak takut jika harus mengatakan “tidak pernah” jika ada orang yang bertanya “pernahkah kau menjadi kekasihnya?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar