Jumat, 30 Maret 2012

Barry

Satu juta. Dua juta. Tiga juta. Berjuta-juta orang muda terpancing oleh pancingnya. Kailnya tak tampak. Hanya tampak pancingnya. Sekali ia keluarkan pancingnya, berjuta-juta orang muda lupa airnya. Ia memancing dari sungai televisi, dari laut internet, dari danau majalah anak muda. Pancingnya itu wajahnya, suaranya, tariannya, aktingnya. Tak terkira hanya dengan memancing berjuta-juta orang ia dapatkan.
Ia Barry. Ia punya orang-orang yang terpancing oleh talentnya dari seluruh dunia. Ia punya rambut hitam kecoklatan, matanya berwarna coklat, kulitnya putih. Tapi sayang ia tidak punya iman.
Semua wanita suka kalau ia melemparkan bunga kepada mereka kalau ia sedang menjadi penghibur di atas panggung dengan nyanyian-nyanyian dan tariannya. Ia lemparkan bunga kepada mereka, lalu mereka persis menjadi seperti sekumpulan ayam yang dilempari beras oleh manusia sambil berteriak-teriak, berkokok-kokok. Lalu dengan seketika beras itu lenyap sudah karena banyaknya ayam yang memakannya. Atau seperti burung-burung merpati yang dilemparkan sepotong roti yang sedikit oleh manusia, lalu burung-burung itu berebut mendapatkan roti yang sedikit. Itu tak menghilangkan rasa lapar burung-burung itu.
Ia mempunyai manajer yang tidak tampan. Berkulit putih juga, tapi badannya tinggi dan besar. Wajahnya berbintik-bintik hitam. Rambutnya keriting kribo. Giginya berkawat berwarna biru. Hidungnya sangat mancung, bahkan hampir patah jika dilihat dari samping. Namanya Owden. Ia sangat mencintai Barry serupa anaknya sendiri. Owden memang tak punya istri, tapi ia punya anak kandung dari seorang perempuan di desanya. Kalau anak itu masih hidup, ia sudah sama besar dengan Barry. Tapi Owden tak mencintai anaknya, dan tak mau mencintai anaknya. Ia tidak mencari anaknya. Ia tidak juga mau mencari tahu tentang anaknya. Ia tak tahu apakah anaknya laki-laki atau perempuan, masih hidup atau tidak.
Barry sudah selesai menjadi penghibur di panggung. Seorang gadis gemuk berkulit hitam datang mendekati Barry dengan malu-malu. Barry mau lari dari gadis itu. Ia takut gadis itu histeris jika melihatnya. Barry tak mau berurusan dengan penggemarnya, apalagi jika sampai pingsan. Tapi ia tidak bisa lari. Tak ada alasan logis buatnya untuk lari.
Gadis itu kemudian mantap berjalan sambil tersenyum ke arahnya. Ia tidak lagi malu-malu sejak Barry melihat ke arahnya dan tak mengalihkan pandangan darinya tadi. Padahal Barry begitu karena ketakutan, dan berharap ia pergi, bukan semakin percaya diri, memberanikan diri mendekatinya.
Tapi semakin ia mendekatinya, makin berubah raut wajahnya dari malu-malu itu. Ia makin berani, berani sambil melayangkan senyum. Lama-lama gadis itu jadi berani, tapi tak lagi tersenyum. Wajahnya berubah, menjadi tanpa ekspresi. Kini wajahnya makin berubah menjadi wajah lain. Tak lagi seperti wajah pertama yang dilihat Barry. Barry mengedip-ngedipkan matanya. Ia mengalihkan pandangan dari gadis itu. Ia menunduk dan mengusap-usap matanya. Mengusap dadanya, lalu mengalihkan pandangannya lagi ke gadis tadi. Wajah gadis itu semakin aneh, bukan semakin terlihat gendut, tapi wajahnya menjadi cantik. Semakin ia mendekat, ia semakin cantik. Ia mengenakan jubah hijau. Rambutnya tak kelihatan, tertutup sampai perutnya oleh hijab yang ia pakai. Tapi wajahnya begitu jelas dan cerah. Barry terkesima. Jantungnya berdegup kencang karena ketakutan dan karena kagumnya. Kini gadis gendut berkulit hitam tadi berubah menjadi gadis cantik berkulit cerah dengan jubahnya yang terurai. Ia melihat Barry. Jantung Barry semakin kuat detaknya. Tapi gadis itu tidak menghampiri Barry. Ia melihat Barry saat lewat didekatnya. Kini Barry berharap gadis itu berhenti sejenak di dekatnya. Tapi gadis itu terus berlalu. Wajahnya serius memandang Barry. Angin kencang datang serasa dari tubuh gadis itu. Semula angin itu kecil saja dirasa, tetapi semakin lama ia semakin kencang. Rambut Barry kusut. Pasir-pasir berterbangan melewati mukanya. Pasir-pasir itu mengikuti gadis itu. Barry tak mau kehilangan gadis itu. Ia berusaha menangkap gadis itu dengan matanya. Pasir-pasir yang berterbangan menghalangi matanya. Namun Barry masih bisa melihat dengan samar-samar gadis itu. Angin semakin pelan, kini Barry sudah bisa membuka matanya lagi, tapi gadis itu hilang.
Barry terkesima, ia terdiam. Rasa heran dan ketakutan terhampar di hatinya. Barry tak mau menceritakan atau menanyakan tentang gadis itu kepada siapapun. Ia juga tak mau bertanya kepada Owden.
Kali ini Barry menghibur lagi. Di kota lain. Lagi-lagi ia melemparkan bunga, lagi-lagi gadis-gadis berebut bunga itu seperti ayam atau merpati. Barry merasa geli di hatinya. Ia merasa lucu dengan pemandangan gadis-gadis ayam. Tapi ia jengkel dengan mereka yang keterlaluan mencintai kelebihannya.
Kali ini Barry juga sudah selesai menghibur. Barry menemui Owden. Seperti biasa, kalau Owden merasa bangga padanya, ia memeluk Barry seperti seorang ayah. Begitu Owden melepaskan pelukannya, Barry melihat perempuan itu lagi. Barry bertanya-tanya di dalam hatinya kenapa perempuan itu juga ada di kota ini. Kali ini gadis itu tidak terlihat seperti gadis gendut berkulit hitam lagi, dan memang tidak ada yang serupa antara dirinya dengan gadis gendut itu, dari dekat ataupun jauh. Kali ini Barry tidak mau kehilangan gadis itu lagi. Ia berjalan mendekati Barry seperti waktu itu dengan wajah serius juga.
Barry ingin menghadangnya. Tapi seperti waktu itu juga, angin kencang seolah menyertai gadis itu. Bahkan kali ini sebelum gadis itu melewati Barry, anginnya sudah kencang terasa. Barry tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ia tetap berusaha menghadangnya. Angin itu terlalu kencang, lebih kencang dari yang waktu itu. Tapi Barry tetap bisa melihatnya yang berlalu di depan Barry. Tapi ia tak sempat menghadangnya. Barry mencoba mengikutinya. Ia terseok-seok melawan angin. Barry berusaha lari mengejar gadis itu. Barry mencoba keluar dari lingkaran angin itu. Tapi ia tak bisa. Barry mencoba mengayunkan langkah lebih ligat. Ia merentangkan tangannya berusaha menggapai gadis itu. Tapi Barry melihat gadis itu tak berjalan. Ya, ia berhenti. Barry memanfaatkan kesempatan buatnya itu. Angin semakin pelan, tapi gadis itu tak menjadi samar ataupun hilang seperti kemarin. Ia melihat ke arah Barry. Barry tersenyum. Barry pun tiba di depannya, ia tak percaya. Nafas Barry sesak karena melawan angin kencang dengan berlari.
Barry menatapnya. “Tidak usah berlari melawan angin itu, Barry”, untuk pertama kalinya Barry merasa dunia idolanya tak berarti demi mendengar suara gadis tersebut. Gadis itu berbicara kepada Barry tentang rasa tak sukanya ia pada Barry. Barry agak kecut hatinya. “Lalu bagaimana agar kau suka padaku?”, tanya Barry. Gadis itu tersenyum, lalu Barry merasa ada angin lembut melewati telinganya, hingga membuat ia menikmati angin itu. Mata Barry tertutup. Begitu ia membukanya, Barry tak melihat apa-apa lagi selain padang rumput yang luas. Di tangan kanannya ada sebuah buku. Al-Qur’an. Ia memegang Al-Qur’an. Barry kaget. Dari mana ia mendapati Al-Qur’an. Barry terperanggah, namun ia segera mengedipkan matanya.
Barry berada di antara seluruh kru-nya. Owden melihat Barry memegang Al-Qur’an. Owden mendekati Barry dan hanya diam menatapnya. Mereka menatap Al-Qur’an itu. “Gadis tadi memberinya padaku, Owden”, Barry bertutur. “Gadis yang mana?”, Owden heran. “Gadis yang jika ada dia selalu ada angin kencang. Ia mengenakan jubah hijau dan hijab yang dalam. Ia menitipkan ini dengan banyak keanehan padaku”. Owden mengerutkan kening dan menggeleng. Tak pernah ada terlihat seorang pun gadis seperti itu di tempat seperti ini.
Sejak hari itu Barry selalu terpaku pada Al-Qur’an itu. Semua orang menyangka Barrytelah gila. Tapi Barry tahu bahwa dirinya masih waras. Ia masih bisa menjawab semua pertanyaan orang dengan logis. Barry membaca Al-Qur’an itu terus-menerus. Ia masuk Islam. Ia menjadi pemuda muslim yang taat. Penggemarnya yang seperti ayam itu tak lagi terdengar mengelu-elu namanya. Kru-nya meninggalkannya dan membencinya. Termasuk Owden. Tapi Barry merasa bahagia. Bahagia dalam imannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar