Ia Barry. Ia punya orang-orang yang terpancing oleh
talentnya dari seluruh dunia. Ia punya rambut hitam kecoklatan, matanya
berwarna coklat, kulitnya putih. Tapi sayang ia tidak punya iman.
Semua wanita suka kalau ia melemparkan bunga kepada mereka kalau ia sedang menjadi penghibur di atas panggung dengan nyanyian-nyanyian dan tariannya. Ia lemparkan bunga kepada mereka, lalu mereka persis menjadi seperti sekumpulan ayam yang dilempari beras oleh manusia sambil berteriak-teriak, berkokok-kokok. Lalu dengan seketika beras itu lenyap sudah karena banyaknya ayam yang memakannya. Atau seperti burung-burung merpati yang dilemparkan sepotong roti yang sedikit oleh manusia, lalu burung-burung itu berebut mendapatkan roti yang sedikit. Itu tak menghilangkan rasa lapar burung-burung itu.
Semua wanita suka kalau ia melemparkan bunga kepada mereka kalau ia sedang menjadi penghibur di atas panggung dengan nyanyian-nyanyian dan tariannya. Ia lemparkan bunga kepada mereka, lalu mereka persis menjadi seperti sekumpulan ayam yang dilempari beras oleh manusia sambil berteriak-teriak, berkokok-kokok. Lalu dengan seketika beras itu lenyap sudah karena banyaknya ayam yang memakannya. Atau seperti burung-burung merpati yang dilemparkan sepotong roti yang sedikit oleh manusia, lalu burung-burung itu berebut mendapatkan roti yang sedikit. Itu tak menghilangkan rasa lapar burung-burung itu.
Ia mempunyai manajer yang tidak tampan. Berkulit putih
juga, tapi badannya tinggi dan besar. Wajahnya berbintik-bintik hitam.
Rambutnya keriting kribo. Giginya berkawat berwarna biru. Hidungnya sangat mancung,
bahkan hampir patah jika dilihat dari samping. Namanya Owden. Ia sangat
mencintai Barry serupa anaknya sendiri. Owden memang tak punya istri, tapi ia
punya anak kandung dari seorang perempuan di desanya. Kalau anak itu masih
hidup, ia sudah sama besar dengan Barry. Tapi Owden tak mencintai anaknya, dan
tak mau mencintai anaknya. Ia tidak mencari anaknya. Ia tidak juga mau mencari
tahu tentang anaknya. Ia tak tahu apakah anaknya laki-laki atau perempuan,
masih hidup atau tidak.
Barry sudah selesai menjadi penghibur di panggung. Seorang
gadis gemuk berkulit hitam datang mendekati Barry dengan malu-malu. Barry mau
lari dari gadis itu. Ia takut gadis itu histeris jika melihatnya. Barry tak mau
berurusan dengan penggemarnya, apalagi jika sampai pingsan. Tapi ia tidak bisa
lari. Tak ada alasan logis buatnya untuk lari.
Gadis itu kemudian mantap berjalan sambil
tersenyum ke arahnya. Ia tidak lagi malu-malu sejak Barry melihat ke arahnya
dan tak mengalihkan pandangan darinya tadi. Padahal Barry begitu karena
ketakutan, dan berharap ia pergi, bukan semakin percaya diri, memberanikan diri
mendekatinya.
Tapi semakin ia mendekatinya, makin berubah raut
wajahnya dari malu-malu itu. Ia makin berani, berani sambil melayangkan senyum.
Lama-lama gadis itu jadi berani, tapi tak lagi tersenyum. Wajahnya berubah,
menjadi tanpa ekspresi. Kini wajahnya makin berubah menjadi wajah lain. Tak
lagi seperti wajah pertama yang dilihat Barry. Barry mengedip-ngedipkan
matanya. Ia mengalihkan pandangan dari gadis itu. Ia menunduk dan mengusap-usap
matanya. Mengusap dadanya, lalu mengalihkan pandangannya lagi ke gadis tadi.
Wajah gadis itu semakin aneh, bukan semakin terlihat gendut, tapi wajahnya
menjadi cantik. Semakin ia mendekat, ia semakin cantik. Ia mengenakan jubah
hijau. Rambutnya tak kelihatan, tertutup sampai perutnya oleh hijab yang ia
pakai. Tapi wajahnya begitu jelas dan cerah. Barry terkesima. Jantungnya
berdegup kencang karena ketakutan dan karena kagumnya. Kini gadis gendut
berkulit hitam tadi berubah menjadi gadis cantik berkulit cerah dengan jubahnya
yang terurai. Ia melihat Barry. Jantung Barry semakin kuat detaknya. Tapi gadis
itu tidak menghampiri Barry. Ia melihat Barry saat lewat didekatnya. Kini Barry
berharap gadis itu berhenti sejenak di dekatnya. Tapi gadis itu terus berlalu.
Wajahnya serius memandang Barry. Angin kencang datang serasa dari tubuh gadis
itu. Semula angin itu kecil saja dirasa, tetapi semakin lama ia semakin
kencang. Rambut Barry kusut. Pasir-pasir berterbangan melewati mukanya.
Pasir-pasir itu mengikuti gadis itu. Barry tak mau kehilangan gadis itu. Ia berusaha
menangkap gadis itu dengan matanya. Pasir-pasir yang berterbangan menghalangi
matanya. Namun Barry masih bisa melihat dengan samar-samar gadis itu. Angin
semakin pelan, kini Barry sudah bisa membuka matanya lagi, tapi gadis itu
hilang.
Barry terkesima, ia terdiam. Rasa heran dan ketakutan
terhampar di hatinya. Barry tak mau menceritakan atau menanyakan tentang gadis
itu kepada siapapun. Ia juga tak mau bertanya kepada Owden.
Kali ini Barry menghibur lagi. Di kota lain. Lagi-lagi
ia melemparkan bunga, lagi-lagi gadis-gadis berebut bunga itu seperti ayam atau
merpati. Barry merasa geli di hatinya. Ia merasa lucu dengan pemandangan
gadis-gadis ayam. Tapi ia jengkel dengan mereka yang keterlaluan mencintai
kelebihannya.
Kali ini Barry juga sudah selesai menghibur. Barry
menemui Owden. Seperti biasa, kalau Owden merasa bangga padanya, ia memeluk
Barry seperti seorang ayah. Begitu Owden melepaskan pelukannya, Barry melihat
perempuan itu lagi. Barry bertanya-tanya di dalam hatinya kenapa perempuan itu
juga ada di kota ini. Kali ini gadis itu tidak terlihat seperti gadis gendut
berkulit hitam lagi, dan memang tidak ada yang serupa antara dirinya dengan
gadis gendut itu, dari dekat ataupun jauh. Kali ini Barry tidak mau kehilangan
gadis itu lagi. Ia berjalan mendekati Barry seperti waktu itu dengan wajah
serius juga.
Barry ingin menghadangnya. Tapi seperti waktu itu
juga, angin kencang seolah menyertai gadis itu. Bahkan kali ini sebelum gadis
itu melewati Barry, anginnya sudah kencang terasa. Barry tak tahu apa yang terjadi
sebenarnya. Ia tetap berusaha menghadangnya. Angin itu terlalu kencang, lebih
kencang dari yang waktu itu. Tapi Barry tetap bisa melihatnya yang berlalu di
depan Barry. Tapi ia tak sempat menghadangnya. Barry mencoba mengikutinya. Ia
terseok-seok melawan angin. Barry berusaha lari mengejar gadis itu. Barry
mencoba keluar dari lingkaran angin itu. Tapi ia tak bisa. Barry mencoba
mengayunkan langkah lebih ligat. Ia merentangkan tangannya berusaha menggapai
gadis itu. Tapi Barry melihat gadis itu tak berjalan. Ya, ia berhenti. Barry
memanfaatkan kesempatan buatnya itu. Angin semakin pelan, tapi gadis itu tak
menjadi samar ataupun hilang seperti kemarin. Ia melihat ke arah Barry. Barry
tersenyum. Barry pun tiba di depannya, ia tak percaya. Nafas Barry sesak karena
melawan angin kencang dengan berlari.
Barry menatapnya. “Tidak usah berlari melawan angin
itu, Barry”, untuk pertama kalinya Barry merasa dunia idolanya tak berarti demi
mendengar suara gadis tersebut. Gadis itu berbicara kepada Barry tentang rasa tak
sukanya ia pada Barry. Barry agak kecut hatinya. “Lalu bagaimana agar kau suka
padaku?”, tanya Barry. Gadis itu tersenyum, lalu Barry merasa ada angin lembut
melewati telinganya, hingga membuat ia menikmati angin itu. Mata Barry
tertutup. Begitu ia membukanya, Barry tak melihat apa-apa lagi selain padang
rumput yang luas. Di tangan kanannya ada sebuah buku. Al-Qur’an. Ia memegang
Al-Qur’an. Barry kaget. Dari mana ia mendapati Al-Qur’an. Barry terperanggah,
namun ia segera mengedipkan matanya.
Barry berada di antara seluruh kru-nya. Owden melihat
Barry memegang Al-Qur’an. Owden mendekati Barry dan hanya diam menatapnya.
Mereka menatap Al-Qur’an itu. “Gadis tadi memberinya padaku, Owden”, Barry
bertutur. “Gadis yang mana?”, Owden heran. “Gadis yang jika ada dia selalu ada
angin kencang. Ia mengenakan jubah hijau dan hijab yang dalam. Ia menitipkan
ini dengan banyak keanehan padaku”. Owden mengerutkan kening dan menggeleng.
Tak pernah ada terlihat seorang pun gadis seperti itu di tempat seperti ini.
Sejak hari itu Barry selalu terpaku pada Al-Qur’an
itu. Semua orang menyangka Barrytelah gila. Tapi Barry tahu bahwa dirinya
masih waras. Ia masih bisa menjawab semua pertanyaan orang dengan logis. Barry
membaca Al-Qur’an itu terus-menerus. Ia masuk Islam. Ia menjadi pemuda muslim
yang taat. Penggemarnya yang seperti ayam itu tak lagi terdengar mengelu-elu
namanya. Kru-nya meninggalkannya dan membencinya. Termasuk Owden. Tapi Barry
merasa bahagia. Bahagia dalam imannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar